Search site


Contact

Asmarahadi

E-mail: aasmarahadi@yahoo.co.id

Memoar Soebandrio

12/03/2010 13:36

Soebandrio;
Kesaksianku tentang G30S

BAB I:  PROLOG  G-30-S

KONFLIK KUBU

Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid.  Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.

Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar.

Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS  menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS -  seperti mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.

Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:

1.      Unsur Kekuatan Presiden RI
2.      Unsur Kekuatan TNI AD
3.      Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.

Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.

Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform.

Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.

Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah.

Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD.

Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution

Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.

Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.

Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya.

Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.

Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.

Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah.

Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.

Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.

Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.

Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama:  Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI.

Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.

POLITIK  MUKA  DUA

Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.

Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.

Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.

Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara.

Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.

Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution - dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.

Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.

Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa.

Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.

Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.

Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.

Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.

Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.

Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.

Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut – dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.

Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.

Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.

Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.

Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara.

Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.

2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya.

SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.

Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.

Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.

EMBRIO  DEWAN  JENDERAL

Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.

Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.

Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?

Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.

Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.

Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.

Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.

Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?

Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.

Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.

Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.

Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto.

Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.

BAB II: GERAKAN  YANG  DIPELINTIR

BUNG  KARNO  MASUK  ANGIN

Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.

Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.

Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.

Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.

Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.

Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.

Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.

Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.

Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.

Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.

Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.

Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?

Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.

Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.

Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.

DEWAN  JENDERAL

Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.

Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.

Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.

Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa – ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).

Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.

Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.

Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.

Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.

Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai berikut:

Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.

Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.

Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.

Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.

Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army friends.’

Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.

Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.

Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?

Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.

Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.

Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.

Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani.

Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.

Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.

Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.

PERAN  AMERIKA  SERIKAT

Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.

Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman.

Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.

Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.

Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.

Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?

Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.

Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S.

Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.

Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.

Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal.

Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.

Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.

Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.

Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.

MENJALIN  SAHABAT  LAMA

Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.

 Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut.

 Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.

 Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.

 Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.

 Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.

 Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.

 Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.

 Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.

 Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.

 Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.

 Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.

 Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang.

 Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.

 Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.

 Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.

 Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).

 Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.

 Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.

 Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.

 Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.

 Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad.

 Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional.

Bookmark and Share