Search site


Contact

Asmarahadi

E-mail: aasmarahadi@yahoo.co.id

PANDANGAN AGAMA MENURUT KARL MARX DAN LENIN

11/04/2010 16:47

Agama sebagai realitas sosial sejak ratusan atau ribuan tahun lalu telah membuktikan bahwa dalam dirinya memiliki kekuatan perubah yang sangat dahsyat. Bahkan, jauh sebelum Weber memperkenalkan tesis protestant ethic-nya, kekuatan agama sudah berulangkali membuktikan mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dalam masyarakat, agama mampu mendorong pemeluknya untuk memandang realitas dunia sebagai obyek yang senantiasa disikapi, menurut visi teologis agama itu sendiri.
Dalam kenyataannya, perubahan sosial yang didorong oleh semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama itu sendiri. Sebab, untuk menjadi daya dorong perubahan sosial, teks suci agama tentu melewati berbagai institusi (dan personifikasi) yang kerap tidak netral dan obyektif dalam memandang realitas. Satu hal lagi, karena agama kerap diposisikan secara formal-simbolistik bukan substansial; hanya diperjuangkan nilai-nilainya secara parsial tidak universal. Itulah, maka tak mengherankan jika atas nama agama, manusia bias berbunuh-bunuhan satu sama lain membela kesucian yang absurd. Apalagi jika ada pihak-pihak di luar agama yang turut memperkeruh suasana dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, maka otomatis tanpa disadari posisi agama sebagai kekuatan pembebas makin lama makin pudar, surut, susut, kering, dan tidak terasa lagi. Kira-kira, begitulah yang terjadi di Maluku dan berbagai daerah konflik.
Dialog antar-agama yang telah lama digagas di Indonesia, sampai kini, akhirnya terseret hanya untuk meredam potensi konflik antar-agama. Dialog antar-agama sebagai wilayah perbincangan netral hanya mengurusi masalah-masalah, baik yang ditimbulkan oleh tafsir konvensional atas teks agama maupun oleh kekuatan luar yang memanfaatkan potensi konflik antar-agama itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini agama yang menyebarkan ajaran perdamaian, kasih sayang dan kesejahteraan tidak termanifestasikan. Sebab, agama hanya melayani pembelaan-pembelaan terhadap simbol-simbol saja. Dan, dialog antar-agama yang memiliki peluang untuk menciptakan perdamaian, kasihsayang, dan kesejahteraan, visinya hanya menyentuh pada aras perdamaian dan kasih sayang. Visi mensejahterakan pemeluk agama yang sebenarnya juga perlu diemban oleh komunitas dialog antar-agama, relatif belum tersentuh.
A. Pandangan agama menurut Karl Marx
Kita sering mendengar tuduhan bahwa Marxisme bertentangan dengan agama serta memusuhi orang yang taat. Bukankah Marx pernah menyebutkan agama sebagai "candu rakyat"?
Sebetulnya sikap Marx dan Lenin dalam hal ini sering disalahartikan, baik oleh orang non-sosialis maupun oleh tidak sedikit orang yang mengaku Marxis. Kritik Marx yang termasyur mengenai peranan agama dalam masyarakat sebetulnya tidak diarahkan untuk meremehkan kepercayaan manusia pada Tuhan. Memang betul bahwa Marx, sebagai seorang filosof yang bersikap materialis, tidak percaya pada Tuhan. Namun demikian Marx sangat menaruh simpati pada rakyat biasa yang beragama. Untuk memahami sikap Marx yang sebenarnya, mari kita menyimak tulisannya "Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel". Di sini kita mendapati rumusan terkenal tentang "candu rakyat", tapi dalam konteks spesifik.
"Di negeri Jerman," tulisnya, "kritik terhadap agama dalam garis besar sudah lengkap". Artinya, kritik tersebut sudah diselesaikan oleh kaum filosof yang mendahului Marx (kaum "Hegelian Muda" terutama Feuerbach). Marx merangkum kritik mereka sebagai berikut:
Pertama "Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan diri atau sudah kehilangan diri sendiri."
Kedua kalimat ini memaparkan, bahwa agama (dan Tuhan) merupakan produk ideologis yang dibuat oleh manusia. Namun di mata Marx, penciptaan itu memiliki segi yang agung sekaligus mengharukan. Kemudian Marx berpaling ke aspek sosial yang merupakan perhatian utamanya: “Namun manusia bukanlah suatu makhluk yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia, negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah dunia terbalik.”
Jika manusia melihat dunia melalui kacamata agamis yang terbalik, itu disebabkan karena manusia hidup dalam masyarakat yang timpang: Agama merealisasi inti manusia dengan cara fantastis karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka perjuangan melawan agama menjadi perjuangan melawan sebuah dunia nyata yang aroma jiwanya adalah agama tersebut. Kaum sosialis tidak diajak berkampanye malawan agama sebagai tugas pokok, melainkan diajak berkampanye melawan bentun-bentuk sosial yang timpang.
Tugas utama kaum Marxis adalah untuk memberantas eksploitasi dan pendindasan, dan agama juga merupakan protest terhadap penindasan itu: Kensengsaraan agamis mengekspresikan kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan itu. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama menjadi candu rakyat.
Tanpa perjuangan untuk pembebasan sosial, kritik terhadap agama adalah sia-sia bahkan negatif, karena kritik semacam itu hanya mempersulit penghiburan emosional yang sangat dibutuhkan oleh manusia: Kritik telah merenggut bunga-bunga imajiner dari rantai, bukanlah supaya manusia akan terus mengenakan rantai yang tak terhias dan suram itu, melainkan agar dia melepaskan rantai itu dan memetik kembang hidup.
Marx menutup teks ini dengan menhimbau agar kaum filosof meninggalkan kritik terhadap agama demi memperjuangkan perubahan sosial: Maka begitu dunia di luar kebenaran itu hilang, tugas ilmu sejarah adalah untuk memastikan kebenaran dunia nyata ini. Begitu bentuk suci dari keterasingan manusia telah kehilangan topengnya, maka tugas mula bagi filsafat, yang menjadi pembantu ilmu sejarah, adalah untuk mencopot topeng keterasingan dalam bentuk-bentuk yang tak suci. Sehingga kritik terhadap surga menjelma menjadi kritik terhadap alam nyata; kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik.
B. Pandangan agama menurut Lenin
Dalam Revolusi Rusia, Lenin dan Partai Bolsyevik menerapkan kebijakan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Marx tersebut di atas. Maka dalam pemerintahan, kaum Bolsyevik tidak mengambil sikap anti-agama, melainkan kepercayaan pada Tuhan dianggap sebagai masalah pribadi saja. Menurut Lenin (dalam "Sosialisme dan Agama", 1905): "Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi ... seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak untuk menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis ... Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi."
Pemerintahan Bolsyevik memang memusuhi lembaga-lembaga agamis yang konservatif, dan melawan hubungan resmi antara negara dan agama, tetapi sekali lagi untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi: "Subsidi-subsidi tidak boleh diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak boleh memberikan tunjangan untuk asosiasi religius dan gerejawi. Ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, secara independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan terkutuk, ketika gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan..."
Sikap kaum Bolsyevik sebagai partai politik memang agak berbeda. Sebagai sebuah organisasi Marxis, partai melawan ideologi agamis dalam kelas pekerja: "Partai kita adalah sebuah perhimpunan para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau klenik-klenik dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama ... kita mendirikan asosiasi kita ... tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokkan para pekerja..."
Seperti Marx, Lenin beranggapan bahwa agama merupakan "keluhan para makhluk tertindas", sehingga "prasangka agama" tidak bisa dihilangkan tanpa menjungkirbalikkan tatanan sosial. Sebelum perubahan itu dapat tercapai, sikap anti-agama hanya menjadi sektarian, dan bisa memecahkan kelas pekerja.
Marxisme, yang berlandaskan pada materialisme, berharap agama akan menghilang dengan sendirinya bila semua penindasan diberantas. Artinya, selama manusia masih merasa memerlukan agama, itu membuktikan bahwa pendindasan masih terjadi. Maka kaum Marxis mesti berjuang terus melawan penindasan, bukan memushi agama.
Dalam waktu jangka panjang, pandangan teoritis kaum Marxis dalam hal ini memang akan teruji. Apabila dalam masyarakat sosialis seutuhnya yang akan tiba, manusia tetap merasa memerlukan agama, itu hak mereka. Akan tetapi jika mereka tidak lagi merasa begitu, analisis materialis Marxisme tentang agama akan terbukti benar.
Kedua ahli tersebut beranggapan bahwa agama merupakan "keluhan para makhluk tertindas", sehingga "prasangka agama" tidak bisa dihilangkan tanpa menjungkirbalikkan tatanan sosial. Sebelum perubahan itu dapat tercapai, sikap anti-agama hanya menjadi sektarian, dan bisa memecahkan kelas pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Damami, Muhammad. 2001. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta :
Bielharz, peter.Teori-teori Sosial.
Hendropuspito, D. 2001. Sosiologi Agama. Yogyakarta : Kanisius
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press.
Rius, 2005. Karl Mark Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book

Bookmark and Share