Search site


Contact

Asmarahadi

E-mail: aasmarahadi@yahoo.co.id

PKI

12/03/2010 20:23

PARTAI KOMUNIS INDONESIA
Sejarah berdiri dan gerakannya

Oleh : Agung Asmara Hadi

I. Pendahuluan
Perjalanan sejarah politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan organisasi masyarakat (Ormas), organisasi pemuda maupun partai-partai politik yang pernah ada dan jaya di negeri ini. Partai-partai tersebut didirikan atas dasar yang berbeda-beda antar partai satu dengan partai lainnya. Ada yang berdasarkan atas golongan agama, seperti Masyumi dan Nadhlatul Ulama (NU) dari golongan Islam, Parkindo dari golongan Kristen, dan lain sebagainya. Berdasarkan paham kebangsaan atau nasionalisme, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), maupun yang berdasarkan Marxis, Sosialis ataupun Komunis seperti Parati Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI) ataupun Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai politik yang salah satunya sangat kontroversial dan cukup disegani pada masanya (1900-1965) adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang banyak melahirkan tokoh-tokoh yang juga kontroversial seperti Tan Malaka, D.N. Aidit .
Dengan berbagai ideologi yang melandasi perjuangan mereka dalam membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu para kolonialisme asing. Ada berbagai macam definisi tentang ideologi. Namun dari semua definisi yang ada, ideologi paling tidak harus memiliki dua karakteristik mendasar. Pertama, ideologi memiliki pandangan hidup. Kedua, ideologi memiliki aturan kehidupan yang muncul dari pandangan hidup tersebut. Pandangan hidup dengan sendirinya akan memberikan metodologi untuk merangkai berbagai macam konsep (ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lain-lain). Dan kemampuan tersebut salah satunya dimiliki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam perjalanannya Partai Komunis Indonesia (PKI) kerap kali dituduh sebagai “pemberontak” terhadap para penguasa yang bertindak tidak adil terhadap rakyatnya. Puncak dari tuduhan-tuduhan sebagai “pemberontak” adalah terjadinya tragedi September (G 30 S) atau gerakan 1 oktober (Gestok).

II. Sejarah dan Latar Belakang Partai Komunis Indonesia (PKI)
Organisasi sosialis yang pertama berdiri di Hindia Belanda pada tahun 1914, dengan berdirinya Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia atau Indische sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Perhimpunan tersebut mempunyai gagasan moderat maupun yang revolusioner tentang kolonialisme. Pada awalnya ISDV tidak ada pengaruhnya sama sekali kepada orang Indonesia. Dan sayap kiri ISDV menyayangkan hal tersebut dan mencari jalan untuk menjangkau massa bangsa Indonesia. Sayap kiri ini berdiri dibawah pimpinan Henk Sneevliet dan Ir. Adolf Baars.
Sneevliet yang datang ke Hindia pada tahun 1913 setelah mengalami masa yang ramai dan penuh dengan angin topan di Sociaal Democraatische Arbeider Partij (SDAP) dan gerakan-gerakan buruh yang mempunyai hubungan dengan SDAP. Ia diberhentikan sebagai pemimpin sebuah gerakan buruh, gerakan buruh kereta api, setelah ia dengan jelas menyatakan simpatinya untuk pecahan kiri SDAP, Sociaal Democratische Partij (SDP), perintis Partai Komunis. Di Hindia Sneevliet menaruh perhatiannya pada gerakan buruh dan ia berhasil dalam waktu singkat menjadikan Vereeniging van Spoor-en Tremweg Personeel (VSTP), yang berdiri di tempat tinggalnya, semarang, sebuah gerakan radikal.
Dalam usahanya untuk mendapatkan hubungan dengan gerakan politik Indonesia, pada tahun 1913 ia mulai mengeluarkan penerbitan Het Vrije Woord, yang dengan cepat dapat dikuasai oleh sayap kiri ISDV. Ia mendapat dukungan dari kaum kiri bangsa Indonesia setelah mengadakan protes yang sengit terhadap ” Indie-Weebaar” actie (aksi pertahanan untuk Hindia) dan kekangan-kekangan terhadap pers. Selain itu Sneevliet dan Baars mencari hubungan dengan partai-partai Indonesia, usaha kearah tersebut tidak mengahasilkan apa-apa. Pada tahun 1916 mereka mulai memperhatikan Sarekat Islam (SI).
SI yang didirikan pada tahun 1911, dengan cepat sekali berkembang sehingga menjadi organisasi Indonesia yang terbesar. Program SI hanya samar-samar, kesamaran itu juga disebabkan sikap pemerintahan kolonial yang mau mengakui resmi cabang-cabang SI, tetapi tidak mau mengakui sikap pengurus-pengurus daerah. Sejumlah anggota ISDV bangsa Indonesia sudah bergerak secara aktif di SI; sekalipun demikian, ISDV meragukan SI untuk mengadakan aksi. SI tidak mempunyai pendirian politik dan orientasi agama yang tegas.
Pada kongres SI tahun 1916, wakil ISDV Semaun tidak mendapat banyak dukungan; tetapi pada umumnya SI semakin banyak memperhatikan sikap tidak setuju terhadap pemerintah, juga atas sebagai reaksi atas merosotnya keadaan hidup sehari-hari akibat perang dunia pertama. Setelah pada tahun 1916 pengurus-pengurus daerah SI diakui resmi, kelemahan-kelemahan dalam Centrale Sarekat Islam (CSI) dan cabang-cabangnya yang otonom masih tetap ada. Pemimpin-pemimpin SI muda yang radikal ditarik oleh Sneevliet dan Baars ke ISDV dan dimatangkan dalam arti sosialis-revolusioner.
Orang yang terpenting dari kelompok ini ialah Semaun (1899-1971) yang sangat berjasa bagi organisasi SI Semarang melalui garis sosialis. ISDV melontarkan berbagai kritik terhadap politik CSI, sehingga timbullah banyak usulan agar CSI memutuskan segala hubungan dan memisahkan diri dari ISDV. Pada kongres SI tahun 1917, SI Semarang mendapat banyak dukungan dari cabang-cabang lainnya, sehingga CSI gagal mengeluarkan keputusan pengucilan ISDV dari tubuh CSI. Sukses terbesar pengaruh awal ISDV memang bersal dari SI Semarang.
Penyusupan ini kemudian hari mampu membelah SI menjadi dua kubu, yakni SI-Putih dan SI-Merah. Pada kubu SI-Putih mereka memilih titik berat pada Islamisme sebagai garis perjuangan, sementara SI- Merah menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Semaun sendiri yang berdiri sebagai tokoh kunci tampil sebagai ketua PKI pertama.
Selain menyusup di tubuh SI, jauh hari Sneevliet juga mendekati Insulinde lewat Tjipto Mangunkusumo, seorang tokoh radikal Jawa-nasionalis. Pada tahun 1935 ISDV menjalin persekutuan dengan Insulinde, namun bubar hanya dalam tempo setahun. Sebabnya adalah Tjipto gagal dimatangkan secara sosialis revolusioner oleh karenanya Sneevliet banyak menyerang Tjipto yang dituduh tidak punya pengabdian yang cukup terhadap aspirasi kaum proletar Hindia. Sementara Tjipto sendiri menolak usaha Sneevliet untuk membuat Insulinde menjadi partai yang berwatak revolusioner. Sebagaimana Tjipto percaya waktu itu, bahwa tak ada alasan untuk suatu perjuangan kelas di dalam gerakan nasionalis Indonesia untuk suatu kemerdekaan Indonesia. Pada saat kaum ningrat dan kromo Hindia ditindas penguasa asing, Tjipto berkata, tidak ada alasan untuk berbicara tentang perjuangan proletar menentang kapitalis. Tjipto pun secara pasti telah menjauhkan diri dari pengaruh komunisme dan perjuangan revolusioner walau sepakat dalam hal tinjauan atas penindasan dan ketidak adilan yang dilakukan oleh kolonialisme.
Riwayat terakhir Henk Sneevliet di Hindia, ia terjerat hukum kolonial karena persdelict tentang sebuah artikelnya di De Indier, corong media NIP, yang ditafsirkan pemerintah kolonial menghasut rakyat Jawa untuk memberontak. Artikel yang berjudul Zegepraal atau kemenangan yang bersejarah itu karena berbicara pertama kali tentang Revolusi Bolshevik, oktober 1917 di Rusia secara langsung mempopulerkan Revolusi Sosialis di publik Hindia. Karena seruan dalam artikel ini Sneevliet diseret kemuka pengadilan ia menang dengan gemilang di pengadilan, satu kemenangan yang membumbungkan popularitas ISDV sayap kiri, sekaligus mempropagandakn perlawanan rakyat. Selanjutnya Henk Sneevliet pergi dari Hindia pada bulan November 1918 dan pulang kenegri Belanda. Sepulang dari Hindia selanjutnya ia bertugas di Komintern dan bergerak di Cina. Setelah tahun 1924 ia berkonsentrasi di belanda dan mendirikan Partai Sosialis Revolusioner pada tahun 1924 dan duduk sebagai wakil partai dalam parlemen dari tahun 1933 sampai 1937. Henk Sneevliet yang mempunyai nama samaran G. Maring ini meninggal dunia di Belanda karena tertangkap dan dieksekusi tentara fasis NAZI pada 13 April 1942.
Sepeninggal tokoh-tokoh Marxis keturunan Belanda, maka tampilah tokoh-tokoh pribumi. Kepeloporan pertama tampillah Semaun (1899-1971) di panggung kepemimpinan Marxis Hindia dan ia pula yang menjadi ketua PKI yang pertama, ketika ISDV memutuskan mengganti nama menjadi PKI atau Perserikatan Komunis di Hindia lewat kongres pada bulan Mei 1920.
Sejak berubah nama dari ISDV menjadi PKI dan menginduk dalam wadah perjuangan kaum komunis dunia (Komintern), secara tegas PKI meletakkan orientasi ideologis pada panduan Marxisme-Leninisme. Perubahan orientasi ini mengandung resiko besar karena secara langsung mempengaruhi hubungannya dengan SI yang beringsut-ingsut memilih jalur lunak dan lebih menekankan aspek nilai-nilai Islamisme sebagai basis nilai perjuangan. Pada tahun 1924 orientasi ideologi Marxisme-Leninisme yang dimanifestasikan dalam pembagunan Perserikatan Komunis di Hindia berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
Dalam pergerakannya PKI sering kali menjadi musuh utama para penguasa, di zaman kolonial PKI kerap melakukan “pemberontakan” terhadap para penguasa yang dinilainya tidak adil dan menindas bangsa Indonesia, seperti pemberontakan Prambanan tahun 1925, pemberontakan tahun 1926-1927. Kedua pemberontakan tersebut mengakibatkan PKI lumpuh dan tidak berdaya karena ‘digulung’ oleh pemerintah kolonial Belanda, selain itu juga kekuatan PKI yang ada masih sangat kecil dan mudah untuk dipatahkan.
Awal Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia, untuk membangun PKI kembali, setelah di tahun 1935 PKI berdiri sebagai partai yang ilegal. Di tahun itu pula Musso bersama kawan lama dan kawan baru membangun kekuatan revolusioner yang bersatu padu. Kedalamnya termasuk anggota Comite Central PKI Sardjono, Alimin, Maruto Darusman, Suripno, pimpinan Partai Sosialis yang baru Amir Syarifuddin, Abdul Madjid,Tan Ling Djie, ketua Partai Buruh Indonesia Setiajid dan banyak lainnya. Semua disatukan dalam Front Demokrasi Rakyat.
Pada tanggal 25 Agustus tahun 1948, Politbiro PKI mengajukan inisiatif untuk menyatukan PKI dengan Partai Sosialis Amir Syarifuddin dan Partai Buruh yang sudah tergabung dalam FDR, menjadi satu-satunya Partai Komunis Indonesia.
Bergabungnya para pemimpin-peminpin tersebut membuat kekuatan PKI menjadi semakin besar dan terjadi “pemberontakan” yang dilakukan oleh PKI di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin. Hal itu terjadi pada tanggal 18 September 1948. “Pemberontakan” yang dilakukan PKI secara terus-menerus terhadap penguasa dan cepatnya “pemberontakan” tersebut dipadam oleh paramiliter yang sedang berkuasa, mengakibatkan kekuatan PKI melemah.
Lemahnya Kekuatan PKI tidak membuat perjuangannya surut, hal ini di buktikannya dengan mengikuti pemilihan umum di tahun 1955 dan menjadi 4 besar pemenang pemilu.
Di era kepemimpinan D.N. Aidit memakai strategi “kanan” dan “kiri” pada moment tertentu. Strategi kanan (Right Strategy) merangkul dengan taktis kaum borjuis, kerjasama dengan musuh masyarakat dan kolaborasi dengan imperialist, jika perlu. Strategi ini menampilkan sikap kompromi, negoisasi, dan konsiliasi. Secara berlebihan, strategi kanan ini bisa berganti menjadi apa yang orang gambarkan oleh komunis sebagai “revisionisme”. Strategi kiri dilakukan dengan memutar balik kenyataan, menggunakan sikap kasar, anti kompromi, suka huru-hara, perselisihan juga pertentangan. Pendeknya, strategi kiri menyukai konfrontasi dan kekerasan. Strategi kiri dalam terminologi komunis bisa mengarah pada “dogmatisme” dan “adventurisme”.
Puncak dari semua itu adalah terjadinya tragedi 30 September 1965, yang berakibat tidak saja PKI lumpuh secara struktural tetapi juga secara organisasional, Penangkapan demi penangkapan terjadi terhadap anggota dan simpatisan PKI yang berada di pusat ataupun di daerah-daerah. Bahkan tragedi tersebut dikatakan sebuah pembantaian terbesar di abad 20, setelah pembantaian terhadap umat Yahudi yang dilakukan oleh Fasisme NAZI jerman.

III. Pergolakan Di Tubuh Komunis ( PKI )
Pergolakan di tubuh PKI di awali dengan kondisi luar negeri yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan partai, PKI yang berkiblat kepada Uni Sovyet (Rusia) mempunyai pengaruh yang besar. Hal ini ditandai dengan meninggalnya sang “rassul” (V.I. Lenin) dan terjadinya “perebutan” kursi kekuasaan di Uni Sovyet (Rusia) antara J.W. Stallin dengan Leon Trotsky, dan “perebutan” tersebut di menangkan oleh Stallin. Perebutan tersebut berpengaruh sangat besar, tokoh-tokoh PKI pun terpecah menjadi dua antara penganut Trotsky dan Stallin, hal demikian sedikit banyaknya menghambat perjuangan PKI. Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh Komunis Intenasional (Comintren) di klaim oleh Musso sebagai penganut Trotskyisme (pembangkang atas kepemimpinan Stallin). Predikat ini dilancarkan oleh PKI dipicu dari peristiwa kegagalan pemberontakan bersenjata 1926, dalam peristiwa tesebut Tan Malaka dianggap sebagai penghianat partai karena tidak hanya menentang dan menyalahkan pemberontakan yang gagal tesebut.
Tan Malaka bahkan mendirikan partai baru bernama PARI yang bisa dikatakan telah menyempal dari Partai Komunis Indonesia. Tindakan tersebut bagi seorang kader komunis dianggap penghianat partai, tidak patuh pada asas sentralisme demokrasi dan merugikan pemberontakan rakyat. Hitungan yang lebih buruk lagi, perpecahan ini melemahkan kekuatan subjektif kepemimpinan revolusioner yang secara tidak langsung telah menguntungkan pemerintah kolonial waktu itu.
Trotskyisme sebagai sebuah aliran pada perkembangannya merupakan sekolah Marxisme yang penting dan telah menjadi pokok persoalan dngan berbagai ragam penafsiran. Kontroversi merebak mengiringi karir politik dan pemikirannya, terutama setelah meninggalnya Lenin pada 21 januari 1924. Beberapa perdebatan penting terutama dengan lingkaran kaum Stallinis yang menguasai kekuasaan Rusia pasca Lenin, menempatkan Trotsky sebagai oposisi sekaligus batu uji bagi teori-teorinya sendiri.
Sumber perselisihan antara Stallin dan Trotsky adalah perdebatan sosialisme dalam konteks revolusi dunia. Dipihak Stallin, yang didukung oleh kawan terbaiknya Bukharin, merumuskan formula yang sudah digodok sejak musim gugur 1924 yang menyatakan bahwa, sosialisme bisa dibangun secara sempurna di satu negara, namun pada kemenangan akhirnya revolusi sosialisme ini harus ditopang dengan perluasan revolusi dunia. Pada sisilain Stallin juga memandang penting untuk menjaga aliansi kelas antara kelas pekerja dan kaum petani. Konsekuensi dari kebijakan tersebut, Stallin membangun kekuasaan yang solid dan sentralistik-yang pada akhirnya merombak jajaran partai dari jajaran teoritisi-aktivis menjadi timbunan birokrasi yang bekerja secara mesin dan malah menciptakan kelas baru dalm masyarakat.
Sementara dipihak Trotsky memandang gagasan Stallin penuh pesimistik dan menuduh program Stallin hanya akan membawa sosialisme menuju kehancuran. Disebabkan perselisihan paham ini, Trotsky dipecat dari ketua Komisi Perang dan dikeluarkan dari jajaran partai. Adapun batu pijakan teoritik terpenting Trotskyisme adalah apa yang dikenal dengan teori ‘revolusi permanen’, sebuah teori yang pada mulanya diformulasikan oleh Karl Marx dan diformulasi ulang oleh Trotsky pada tahun 1905-1906. Cap Trotskyisme yang diberikan PKI kepada tokohnya sendiri, Tan Malaka. Pada akhirnya kekuatan Komunis di Indonesia terpecah tidak hanya satu, disamping PKI sendiri ada pula Partai MURBA dengan berideologikan Marxisme dan menjadi rival politik bagi PKI.
Terpecahnya kekuatan PKI yang terbaki dalam beberapa faksi tidak membuat partai tersebut mengalami satgnanasi dalam gerakannya, bahkan hal ini sedikit banyaknya dapat teratasi dengan tampilnya pimpinan baru pasca Madiun Affair tahun 1948 yakni Dipa Nusantara Aidit. Aidit berhasil menata dan menyatukan kekuatan partai yang semula terpecah (walaupun tidak semuanya). PKI jika diawal tahun 1920-an berkiblat dengan Marxisme-Leninisme dan terjadi penyimpangan ditahun 1930-an terhadap Marxisme-Leninisme menjadi kearah Stallinisne. Di tahun 1950-an PKI berubah kembali kiblatnya, ditambah dengan Maoisme menjadi Marxisme-Leninisme-Maoisme.

III. Pertarungan PKI dengan ABRI (TNI)
Permusuhan PKI dengan militer (TNI) sebagian besar dibentuk dari terjadinya Madiun Affair di tahun 1948, ketika itu PKI dibawah pimpinan Musso dan Amir Syariffudin. Peristiwa tersebut bermula dari diadakan reorganisasi-rasionalisasi (rera) dan terjadinya penculikan anggota-anggota TNI (Brigade 29) oleh pasukan ‘tak dikenal’. Dan peristiwa tersebut berlangsung di Solo, Madiun hanya sebagai akibat dari yang terjadi di Solo. Yang terjadi adalah : 19 September 1948, di Madiun, karena Residen ternyata bepergian, pada hal harus ada yang bertanggung jawab atas keamanan daerah itu, maka wakil Walikota Madiun, Supardi, atas usul organisasi-organisasi rakyat diangkat sebagai pemangku Residen. Pengangkatan itu ditandatangani juga oleh Komandan Teritorial, Overste Sumantri, Wakil Residen dan Walikota Purbo. Kemudian Overste Sumantri, Isdharto dan Supardi atas nama pemerintah daerah mengirim kawat ke pemerintah pusat di Yogyakarta sebagai berikut: “Di Madiun terjadi pelucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas Batalyon Siliwangi dan Mobrig, berhubungan dengan kepergiannya kepala daerah dan Walikota sedang sakit, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menysul”.
Menurut Prof. G. McT. Kahin, Prof. W.F. Wertheim “apa yang disebut pemberontakan Madiun, Jawa Timur, adalah mungkin tak lebih dan tak kurang dari provokasi yang dilakukan elemen-elemen anti komunis”.
Angkatan bersenjata sebagai lembaga militer pasca kolonial, yang tersusun dari berbagai kelompok masyarakat, ABRI pada 1964-1965 merupakan lembaga yang terpecah. Pertentangan tidak saja terjadi dengan PKI tetapi juga persaingan antar angkatan, bahkan dengan kepolisian (yang saat itu juga berada di bawah struktur angkatan bersenjata). Secara politis, Angkatan Udara (AU) dekat dengan PKI sehingga persenjataannya relatif lebih baik dari pada Angkatan Laut (AL) dan AD, terlebih kepolisian. AL dan Korp Komando Operasi (KKO)-nya lebih dekat dengan PNI tradisional dan Soekarno. Kepolisian terpecah, sebagian cenderung memilih parati-partai nasionalis dan sebagian lagi dekat dengan partai-partai kiri.
Pertarungan PKI dengan tentara terus berlangsung hingga mencapai puncaknya dengan terjadinya G 30 S atau Gestok. Pertarungannya dengan kaum militer salah satunya dikarenakan dengan keinginan Aidit untuk membentuk tentara rakyat, yang dinamakan dengan angkatan ke-5 terdiri dari kaum buruh dan tani yang dipersenjatai. Kaum militer secara tegas dijadikan penyebab akan kesengsaraan rakyat.
PKI di bawah lima kamerad mempribumikan marxisme dan komunisme. Dibawah praksis Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) terdapat “bahasa komunis” yang dilokalkan. Daripada menggunakan cara produksi ( made of production) kapitalis untuk menjelaskan kesengsaraan rakyat, PKI memilih menggunakan suatu konsep yang lebih sederhana mengenai tiga sebab kesengsaraan rakyat. :
1. Para imperialis terutama imperialis Amerika, merupakan musuh utama rakyat progresif di seluruh dunia.
2. Di desa-desa terdapat tujuh setan, yaitu: (1) setan tuan tanah yang menolak melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) edan Undang-Undang Bagi Hasil (UUBH) ; (2) setan pejabat yang membela kepentingan setan tuan tanah ; (3) setan tengkulak yang memeras para petani ; (4) kapitalis birokrat yang menyalahgunakan kekuasaanya untuk memperkaya diri dengan cara mengeksploitasi petani ; (5) bandit desa yang menjadi antek dan kaki tuan tanah ; (6) rentenir ; (7) penghisap darah rakyat yang menjebak petani menjadi penghutang seumur hidup.
3. Di kota-kota ada tiga setan kota sipil dan militer, yaitu : (1) kaum kapitalis birokrat ; (2) kaum penggelap ; (3) pejabat korup.

Di tahun 1964-1965 pertentangan PKI dengan tentara semakin tajam dan meningkat, kekuatan politik ketika itu terdiri dari PKI, Soekarno, dan TNI (AD). Keseimbangan politik tersebut terus jaga oleh Soekarno, tetapi ia (Soekarno) cenderung memilih kearah PKI sebagai kawan aliansi taktisnya. Hal demikian terus berlangsung hingga hancurnya PKI sebagai sebuah partai dan runtuhnya rezim Soekarno yang tidak saja diiringi dengan penangkapan-penangkapan tetepi juga pembunuhan secara massal yang terjadi di Pulau Jawa dan Bali.

IV. Siapa Bertanggung Jawab atas Coup de’ Etat
Berbagai “pemberontakan” yang dilakukan oleh PKI dalam melawan penguasa yang tidak adil dan zalim pada rakyatnya, selalu mengalami sebuah anti klimaks mulai dari pemberontakan prambanan di tahun 1926-1927 dan puncaknya adalah ternya peristiwa Gestok.
Terjadinya tragedi September/Oktober tidak saja meruntuhkan PKI sebagai partai komunis di Indonesia tetapi juga merupakan efek domino disusul dengan runtuhnya berbagai rezim Komunis yang ada di eropa dan Amerika Latin seperti : Uni Soviet, Polandia, Hungaria, Cekoslovakia, Rumania dan Yugoslavia serta Chile. Yang menarik runtuhnya rezim Allende di Chile dengan menggunakan nama sandi “operasi jakarta”.
Dalam kasus Indonesia, runtuhnya komunis cukup mengejutkan karena hal tersebut berlangsung selama dua hari dan hanya setengah hari PKI menguasai keadaan jakarta. Dalam dua hari sebuah partai yang besar begitu cepat dihabisi hingga ke daerah-daerah, ada dugaan yang kuat bahwa rencana coup yang ingin dilaksanakan oleh PKI telah bocor dan adagerakan yang mendahuluinya. Dengan terdahuluinya rencana tersebut maka semakin sah untuk menghabisi PKI sebagai sebuah partai.
Pembubaran PKI yang diiringi dengan penangkapan-penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pendukung dan simpatisan terjadi di pulau Jawa dan Bali banjir darah pun terjadi, jumlah korban diperkirakan mencapai 3-5 juta. Praduga pun banyak berkembang mengenai siapa yang sebenarnya berkeinginan melakukan kup terhadap pemerintahan Soekarno. Mulai dari PKI, Angkatan Darat (AD), Soekarno hingga keterlibatan asing seperti CIA (Central Intelligence Agent). Sampai dengan pasca terjadi gerakan tersebut misteri itu masih belum terkuak, sementara negara di bawah rezim Soeharto hanya memperkenankan satu-satunya sumber mengenai gerakan tersebut yang dinamakan dengan “buku putih” .
Siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa terjadinya penangkapan dan pembunuhan yang menelan korban tidak sedikit? Dan siapa pula yang bertanggung jawab atas rencana ‘Coup de Etat’ yang gagal. ? Mungkin semua hanya dapat di jawab oleh sejarah dan waktu.

V. Pustaka
Poeze A. Harry, 2000, Pergulatan Menuju Republik 1897-1925, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakata.
Prabowo, Hary, 2002, Perspektif Maxisme Tan Malaka: Teori dan Praksis Menuju Republik, Jendela, Yogyakarta.
Soewarsono, 2000, Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen, LKIS, Yogyakarta.
Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar “Peristiwa Madiun”, tanpa tahun, Pustaka Pena.
Brackman C. Arnold, 2000, Cornell Paper : Di Balik Kolapsnya PKI, Els Reba, Yogyakarta.

Bookmark and Share